Laman

Sabtu, 06 Februari 2010

“Dancing Out of Bali” John Coast

Pada satu hari di awal bulan Maret 2005, tiba tiba sahabatku Agung Rai, pendiri dan pemilik Agung Rai Museum of Art (ARMA) Ubud memberiku buku yang beberapa hari sebelumnya di launching di museumnya. Judulnya “Dancing Out of Bali” yang ditulis oleh John Coast diterbitkan Periplus Classics, “Ini buku bagus, akan sangat berguna buatmu untuk lebih tahu perjalanan seni budaya Bali,” kata Gung Aji, begitu beliau dipanggil oleh semua orang.


Cover Ni Gusti Ayu Raka tahun 50-an   

Ni Gusti Raka Rasmi di tahun 2010



Buku berbahasa Inggris ini, membuat aku yang tidak pernah belajar bahasa asing secara khusus, kecuali di bangku SMP dan SMA kelabakan juga. Namun karena tertarik pada buku yang bercerita tentang upaya si penulis, pria yang lahir di Inggris 1916 untuk membawa sebuah kelompok seni ke luar negeri, membuat aku antusias membacanya. Mencoba memahami isinya, walau pastinya aku tak benar benar paham, walau sudah berbekal kamus tebal dan berusaha mengartikan kata perkata, baru kemudian mencoba membuat kesimpulan dari arti buku tersebut.

John Coast juga bercerita tentang bagaimana tiga penari Legong, Anom, Ni Gusti Raka dan Ni Oka, dalam usia anak anak menjadi pilihan utama disamping tari dan penari lainnya. Rasa tertarikku bertambah, karena sebelumnya juga sempat memotret pertunjukan tari Legong tiga generasi di ARMA, Ubud dimana salah satu penarinya adalah Ni Gusti Raka yang telah berumur lanjut dan tetap mengajar menari pada anak anak.

Setelah mendekati selesai membaca, dengan pemahaman yang masih amburadul. Aku yang begitu tertarik pada tari Legong, mulai lebih masuk ke sebuah setting, kenapa aku tidak menulis tentang para penari Legong yang keluar negeri. Dalam cerbungku berjudul “Ritus Legong” (juara harapan lomba cerbung Femina 2002), tokoh utama, mantan penari legong yang sudah tua dikucilkan karena peristiwa politik tahun 1965. Ada niatkan untuk mengkaitkan saja, bahwa tokohnya tetap Anak Agung Ayu Made Candri (ketika tua dipanggil Biyang Ade). Tapi akhirnya aku memutuskan untuk mengganti semua settingnya dan tidak lagi mengkaitkan dengan tokoh tokoh di Ritus Legong.

Buku mantan Atase Pers Presiden Soekarno ini sangat membantu, sehingga aku bisa mendapat gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana sebuah sekaa (kelompok) seni mengelola dirinya. Juga suasana Bali tahun 50-an, sehingga aku bisa membayangkan seperti apa sepuluh tahun kemudian, sesuai setting novelku. Aku juga bisa melihat kostum orang Bali saat itu dan bagaimana mereka mengenakannya.

Begitu juga perjalanan mereka ke London, di novelku tokoh tokohnya juga pergi ke negeri Ratu Elizabeth II, sangat membantu aku, walau secara alur aku tidak menirunya. Karena tokoh tokoh yang ada di novelku, memiliki masalah yang jauh berbeda dengan tokoh tokoh nyata di buku yang juga sempat diterbitkan tahun 1953 tersebut.

Tentunya, bila telah membaca novelku, tidak ada salahnya aku sarankan untuk membaca buku ini. Untuk lebih paham seperti apa sebuah seni budaya di Bali berkembang dan keikutsertaan orang asing dalam proses tersebut.

1 komentar: