Sesungguhnya aku tidak tahu akan menulis novel apa lagi. Karena novelku tentang perdagangan ekstasi yang aku tulis tahun 95 tak berujung pada penerbit, alias ditolak.
Setelah bom meledak di Bali tahun 2002, saat aku sebulan penuh liputan di ground zero. Wartawan ya, fotografer juga ya dan meliputnya sejak 15 menit setelah ledakan. Aku memutuskan menulis cerita bersambung.
Ledakan bom itu sesungguhnya telah menginterupsi ide ide yang akan aku tulis,karena aku musti menulis cerbung, bersaing dengan kawan sekantor yang sudah lebih dahulu menang di lomba cerbung majalah Femina, saudari Oka Rusmini. Komputer sudah nyala, tinggal memasukan huruf huruf saja, tiba tiba, "Boom!" Langit di selatan menjadi merah. Aku berada 4 kilometer dari pusat ledakan.
Jadi berhari-hari aku merangkap tugas, jadi wartawan, fotografer, nara sumber kawan kawan media dalam dan luar negeri, dan sekaligus orang yang cemas. Karena di tempat bom meledak itu, sanak saudaraku sering menghabiskan malam Minggunya.
Ternyata menulis cerita adalah bagian dari upayaku untuk menyembuhkan diri dari kecemasan, baik sebagai orang yang datang awal, lalu melihat kondisi tubuh tubuh tak bernyawa, sebagai orang yang tahu akhirnya, bahwa ada satu bom belum sempat meledak dan sebagai orang Bali yang wilayahnya diserang teroris. Aku tahu sekali dampaknya, karena aku mengakses berbagai informasi saat itu, baik yang kemudian ditulis di Bali Post, atau yang tetap menjadi rahasia.
Cerbung akhirnya jadi sebulan kemudian, aku kirim ke Femina. Beruntung jadi nomor 4 alias juara harapan dengan judul "Ritus Legong". Semangat masih kuat, menulis lagi untuk lomba di Femina, kali ini cerpen berjudul "Selir Sulandri" kembali di peringkat 4. Tapi aku senang karena diapresiasi oleh pembaca, lewat surat pembaca, justru cerpenku yang bukan juara dan majalahnya langsung aku kliping.
Aku sempat merasa hebat, walau sesungguhnya aku tidak terlibat dalam sastra "main stream" termasuk juga di Bali. Walau karya cerpenku juga pernah dimuat di Suara Pembaharuan, Koran Tempo dan Bali Post. Satu esaiku juga pernah dimuat di Jakarta Jakarta (soliloqui) tahun 1996, jadi ngerasa agak top juga, karena disitu nulis orang orang yang jadi idolaku seperti Gus Dur, Emha Ainun Najib dan Rocky Gerung. Kawan kawan lebih suka mengelompokan aku sebagai kuli tinta atau tukang foto keliling.
Tapi tak apa, lalu aku mencoba menulis novel dengan setting bom Bali. Tapi tak ada respon, walau sudah dikirim bolak balik ke media, sampai akhirnya teronggok begitu saja di tumpukan buku buku bercampur debu debu di kamarku, istanaku dan kapal pecahku.
Aku sempat berpikir sudahlah, aku memang tak berbakat nulis. Namun bahan yang sudah begitu banyak menempel dalam otakku, tentang berbagai hal saat menulis cerita cerita sebelumnya, memaksa aku kembali menulis. Lomba novel DKJ dan lomba penulisan skenario nasional merangsang lagi aku ke lembah penulisan yang penuh ketidakpastian. Keduanya gagal bagiku, alias tak dapat juara.
Akhirnya aku pikir, waktunya aku fokus pada satu hal. Menulis.
Aku tulis novel ini selama satu bulan. Lalu aku edit selama 7 bulan. Perbaiki bahasanya selama 1 bulan. Di sela sela itu, mengumpulkan ilmu menulis novel dari berbagai buku dan situs kepenulisan di internet. Dan tetap bekerja dengan serius di Bali Post, sumber nafkah utama sebagai editor.
Karena aku penuh konsentrasi, menghilang dari pergaulan, kecuali ke kantor tentunya. Akhirnya jadilah Ayu Manda sebuah novel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar