17 April 2010
Sica Harum Wibowo
Masih bicara mengenai poligami, pluralisme, feodalisme, dan patriarki yang melahirkan kekerasan bagi perempuan.
SETIDAKNYA ada dua novel perempuan yang hadir di bulan April ini. Yakni, Ayu Manda dan Entrok. Keduanya berkisah tentang kehidupan perempuan menghadapi poligami, pluralisme, juga kekerasan. Ayu Manda ialah putri bangsawan yang dibesarkan menjadi penari. Ia hidup di awal 1960-an. Sedari kecil, putri dari istri utama di Puri Mundak Sungkal itu sudah memendam kemarahan karena ayahnya memperistri tiga perempuan lain selain ibunya.
Sebagai putri dari istri pertama Gusti Ngurah Amba, Manda kecil menempatkan diri sebagai pembela kehormatan ibunya. Dia tahu, tanpa anak laki-laki, Manda dan ibunya tidak punya posisi. Maka ia mulai bersaing dan mengenali intrik-intrik di puri dengan alami, terutama ketika ia menari ke Eropa bersama dengan perempuan sebaya yang ternyata saudara satu ayah. Permusuhan ini bertahan sampai mereka dewasa, bahkan ketika puri bangkrut.
Manda juga penari joged yang populer berkat dasar-dasar tari le-gong yang ia miliki. Saat itu, tarian joged semata dianggap tari cabul. Maka penarinya pun dianggap pelacur. Manda yang berguru pada istri keempat ayahnya, Jero Jempiring, mendirikan sekaa tari joged, berusaha menempatkan kembali joged pada seni yang terhormat, bukan cabul. Meski sempat sukses, Manda harus menutup sekaa itu karena tiga penarinya melacurkan diri.
Dalam perjalanan hidup, Manda yang hanya belajar menari, berkese-nian untuk partai. Dia jatuh cinta kepada lelaki aktivis dari kasta su-dra yang rendah. Cinta terlarang ini terjadi saat gejolak politik tengah tinggi di Bali. Novel ini lumayan memberi gambaran mengenai budaya Bali, termasuk struktur kasta dan kehidupan di dalam puri.
Entrok
Adapun kisah Entrok terbangun dari narasi dua perempuan yaitu Sumarni yang dipanggil Mami dan anaknya, Rahayu. Sedari kecil, Marni digambarkan sebagai perempuan yang ulet mengejar impiannya. Mimpi pertamanya kala bocah ialah memiliki entrok, pakaian dalam perempuan, agar ia nyaman saat berlari tanpa buah dada yang terguncang ke sana kemari.
Impian Marni yang cuma buruh pengupas singkong di pasar di Sing-get, sebuah dusun di Magetan, Jawa Timur, sangat tidak masuk akal di tahun 1950. Tapi Marni bergeming. Dia kukuh dengan cita-citanya meski semua orang tertawa. Dia berdoa seperti simbok (ibu)-nya, meminta kepada Mbah Ibu Bumi dan Bapak Langit di bawah pohon asem. Dia bekerja bersama simboknya di pasar, lantas menjadi kuli angkut perempuan pertama di pasar itu agar mendapat uang.
Di sana, uang hanya diupahkan kepada lelaki pengangkut barang. Pengupas kulit singkong seperti simbok Marni hanya diupahi satu singkong per 1 kilogram yang dikupasnya. Lantas Marni berhasil memiliki entrok. Setelah itu, Mami makin ulet bakulan (berdagang) dan lama-lama menyediakan juga pinjaman uang dengan bunga 10%.
Dia menikah dengan Teja, lelaki yang digambarkan nyaris tidak bisa apa-apa. Teja tidak bisa membela istrinya ketika aparat pemerintah mulai dari polisi sampai lurah memoroti harta mereka. Teja cuma bisa mengantar Mami ke sana kemari untuk menjual barang sampai menarik cicilan.
Kesibukan lain Teja cuma meniduri perempuan-perempuan yang bukanistrinya. Tapi Marni memilih tutup mata. Baginya itu lebih baik daripada bercerai. Alasan Marni pragmatis. Jika Mami mau dicerai, harta yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit menjadi gono gini yang harus dibagi. Marni tak rela.
Alhasil Mami benar-benar sendirian menghadapi dunia. Dia yang masih menyembah Mbah Ibu Bumi harus menghadapi mereka yang berpeci karena dianggap kafir dan layak diintimidasi. Marni yang memberi utang dengan laba 10% juga dibenci orang-orang yang berutang kepadanya. Termasuk guru agama Rahayu yang menghujat Marni di sekolah namun juga meminjam dana paling banyak. Lantaran itu hubungan Marni dan anaknya, Rahayu, memburuk. Bahkan sampai Rahayu dewasa dan bersedia dimadu lelaki atas nama agama, dan Marni merasa sia-sia saat tua.
Serupa tapi tak sama
Dua penulis novel-novel itu memiliki latar belakang jurnalistik. Ayu Manda ditulis I Made Iwan Darmawan, lelaki yang pernah menjadi redaktur di sebuah harian di Bali. Adapun Entrok ditulis Okky Madasa-ri, perempuan yang pernah bekerja sebagai reporter koran di Jakarta.
Tokoh lelaki yang katanya paling cerdas di kedua novel itu digambarkan tidak berdaya. Raka Sindan pada novel Ayu Manda, aktivis yang katanya cerdas, nyatanya tidak pintar-pintar amat-terbaca dari dialog-dialog yang biasa saja-dan tidaksadar gender (hlm 257).
Amri Hasan pada novel Entrok, aktivis yang dikatakan tampan dan garang ketika bicara perlawanan atas kekerasan, nyatanya juga melakukan poligami, sebuah bentuk lain kekerasan yang kemudian halal atas nama agama. Pada Ayu Manda, perempuan dibuat membenci sesama perempuan ketika mempersaingkan kehormatan yang dibawa oleh lelaki.
Artinya, perempuan itu menjadi terhormat karena lelaki yang dinikahi, atau karena siapa ayahnya, bukan karena upayanya sendiri menjadi terhormat sebagai manusia. Ayu Manda menjadi kisah bagaimana perempuan menghadapi feodalisme dan patriarki dengan bersaing sesama perempuan.
Adapun isu pluralisme telah muncul pada Entrok. Namun, yang paling kuat mewarnai kisah ini dari awal sampai akhir ialah tentang bagaimana perempuan menghadapi penindasan di balik baju negara bahkan agama, bahkan untuk melindungi haknya.
Setelah Teja mati, Mami didatangi Endang Sulastri, gendakan Teja yang meminta harta atas nama anak hasil hubungan gelapnya dengan Teja. Marni bersedia memelihara anak itu, tapi tidak relirhembagf+iarta urttuk Endang. Guna melindungi haknya, Marni bersedia diperas polisi untuk melancarkan tirusarirVy* (hlm 1%).
Marni yang tidak pernah kenal 6ekolah itu bisa sangat logis dalam tutur dan perilaku. Sekilas, terasa ada semangat penulisnya mendudukkan Mami seperti sosok Nyai Ontosoroh (Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer). "Ada banyak masalah sosial pada novel Entrok. Misalnya, perempuan yang hanya di dapur dan jauh dari ingar bingar politik. Meski makin tipis, fenomena ini masih ada," kata Guru Besar Filsafat Hmu Budaya Universitas Indonesia, Prof Dr Apsanti Djokosuyatno, saat peluncuran novel Entrok di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (15/4).
Jadi, selamat Hari Kartini, perempuan Indonesia. Jika membaca novel ini, mungkin Anda bisa mengukur diri, sejauh mana perjuangan perempuan telah bergerak. Atau malah, Anda ialah Manda ataupun Marni di era baru, dalam tampilan lebih modem?
(M-l)miweekend@mediaindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar